Perekonomian Indonesia dimasa yang akan datang memang sangat menjanjikan. Bahkan, Harian The New York Times, edisi 5 Agustus 2010 menyebut: Indonesia adalah sebuah model ekonomi, setelah melewati krisis lebih dari sepuluh tahun. Sementara Financial Times(12/08/2010) mengatakan, perekonomian Indonesia merupakan macan yang tengah terbangun. Dengan keadaan ini seharusnya kita semakin optimis dengan perekonomian kita, tidak hanya makro tetapi juga mikro. Kita mempunyai tiga kekuatan yang menjadi tiga kelemahan dari seluruh negara di dunia ini. Tiga kekuatan yang kita miliki antara lain adalah:
1. Energi
Kita mempunyai sumber-sumber alam yang memiliki kekuatan yang besar. Seperti metal, minyak, dan batu bara. Inilah sumber-sumber alam yang harus kita gali potensinya agar kekayaan sumber alam dapat kita manfaatkan sebaik-baiknya. Seperti proyek gas Natuna dan Cepu apabila sudah selesai, maka kita akan kembali menikmati surplus energi.
2. Komoditas
Sebagai negara agraris sudah sewajarnya pertanian lah yang menjadi kekuatan ekonomi kita. Walaupun harga komoditas akan selalu mengalami fluktuasi, tetapi lebih sering harga itu lebih tinggi. Peningkatan pemberdayaan komoditas ini memang sudah dijalankan, terbukti dengan Indonesia menjadi negara kedua terbesar setelah Malaysia dalam hal mengekspor kelapa sawit. Selain kelapa sawit, kita mempunyai komoditas unggulan lain seperti: kakao, kopi, tembakau, dan masih banyak lagi.
3. Metal
Indonesia memang kaya akan metal seperti: nikel, copper, iron ore, bauksit, dan alumina. Keuntungan yang seharusnya kita miliki ini akan lenyap begitu saja apabila kebijakan pemerintah tidak mendukungnya. Sekarang dalam undang–undang yang baru, kita harus mempunyai smelter atau peleburan logam. Jadi kita tidak perlu lagi ekspor bijih untuk diproduksi oleh negara lain, dan sebaliknya kita harus percaya diri dan mandiri untuk memproduksinya sendiri.
Selain kekayaan alam yang kita miliki, faktor pendorong pertumbuhan perekonomian kita adalah pada sektor investasi. Jika kita tengok kondisi sektor finansial kita, yang meliputi pasar modal, uang, utang dan perbankan, nampaknya tak ada yang mengkuatirkan. Secara umum, peringkat investasi Indonesia terus meningkat, seiring dengan semakin turunnya credit default swap (CDS) sebagai cermin dari risiko investasi. Bahkan, Japan Credit Rating Agency Ltd., (JCRA) telah menaikkan peringkat Indonesia ke level “investment grade” pada bulan Juli lalu. Prospek perbankan kita juga tak kalah menjanjikan. Di tengah ambruknya sistem perbankan global, perbankan Indonesia justru membukukan tingkat keuntungan yang tinggi, selain menunjukkan tingkat kehati-hatian. Tingkat Net-Interest Margin (NIM) perbankan Indonesia yang mencapai angka sekitar 5,7 persen, merupakan angka paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara sekitar. Bandingkan dengan Singapura yang NIM nya hanya sekitar 2 persen, Malaysia 2,3 persen, Thailand 3,3 persen. Jadi, tak salah jika para bankir asing sangat berminat masuk ke Indonesia, di samping karena potensi pasarnya yang masih sangat luas.
Setelah melihat aspek-aspek yang bisa kita gunakan untuk mengangkat perekonomian kita, tetapi ada beberapa tantangan yang harus kita hadapi untuk menyukseskan tujuan kita tersebut, diantaranya:
1. Penggelembungan Nilai Aset
Kemungkinan terjadinya gelembung nilai aset (asset bubble) dan inflasi, karena kurangnya daya serap ekonomi nasional terhadap masuknya modal asing, termasuk jangka pendek.
2. Terhentinya Arus Modal Masuk
Terhentinya arus modal masuk dan bahkan terjadinya penarikan kembali modal masuk dalam jumlah besar. Kesalahan dalam mengambil kebijakan, keterlambatan mengambil tindakan serta kurang koordinasi antar pembuat kebijakan juga dapat berakibat buruk terhadap stabilitas makro yang sudah terjaga selama ini.
3. Subsidi Energi dan Alokasi yang Kurang Efisien.
Selama ini, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) masih dinikmati orang mampu (berpenghasilan tinggi). Terkait masalah ini, Ketua Komite Ekonomi Nasional, Chairul Tanjung mengatakan yang wajib mendapatkan subsidi ialah orang miskin, orang mampu sebaiknya tidak dapat subsidi.
4. Risiko Inflasi
Risiko inflasi terutama dipicu komponen makanan, pendidikan, dan ekspektasi inflasi. Inflasi Indonesia yang masih tinggi, menurut Chairul Tanjung, karena selama ini kita hanya mengandalkan kebijakan moneter Bank Indonesia untuk mengelola permintaan. Padahal, selain faktor permintaan, inflasi juga dipengaruhi faktor penawaran atau tersedianya barang dan faktor distribusi yang harus diperhatikan.
5. Infrastruktur yang Kurang Memadai
Chairul menuturkan, tahun ini Indonesia menjual mobil sebanyak 760 ribu. Jika dalam lima tahun ke depan tidak ada penambahan jalan secara signifikan khususnya di Jakarta, akan terjadi kemacetan. Begitu pula, dengan airport dan pelabuhan. "Jika tidak ada perbaikan akan terjadi kemacetan luar biasa, yakni kemacetan ekonmi,” ujar Chairul.
6. Kurangnya Daya Saing
Peningkatan daya saing, perbaikan pendidikan, dan pelatihan serta penambahan pasokan tenaga teknik terdidik yang menjadi penghambat bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi produk (utamanya yang padat karya), menghambat investasi dan mengurangi penciptaan nilai tambah dan lapangan pekerjaan.
7. Kondisi Politik dan Hukum yang Terjadi
Hingga kini, kinerja DPR dalam menyelesaikan legislasi, pembuatan undang-undang (UU), termasuk UU yang berkaitan dengan upaya mendorong pembangunan ekonomi masih jauh dari harapan.
0 komentar:
Posting Komentar