Sabtu, 28 Mei 2011

Kondisi Perekonomian Indonesia Pra Kemerdekaan

            Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang.  Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini.  

1.      Masa Kependudukan Belanda.
            Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC ( Vereenigde Oost-Indische Compagnie ) sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris).  Untuk mempermudah langkahnya diHindia Belanda ( Indonesia dulu ). Voc diberikan hak-hak istimewa, antara lain:
-        Hak mencetak uang.
-        Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai.
-        Hak menyatakan perang dan damai.
-        Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri.
-        Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja.

            Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda.  Namun, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC.  Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah.  Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu.  VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi.  Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie ( kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten ( pajak hasil bumi ) dirancang untuk mendukung monopoli itu.  Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie ( pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan ). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.  Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda.  Tetapi, pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda.  Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC.
            Selain VOC, pemerintah Belanda juga memberlakukan sistem Cultuurstelstel ( sistem tanam paksa ) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch.  Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia.  Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll.  Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi ( monopoli ekspor ).  Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
 Sistem ini digunakan dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi.  Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah.  Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan.  Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka.  Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
            Selain VOC dan cultuurstelstel pemerintah Belanda juga memberlakukan sitem ekonomi pintu terbuka yang mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya.  Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh.  Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.

2.      Masa Kependudukan Inggris ( 1811-1816 ).
            Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent ( pajak tanah ).  Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda.  Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India.  Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah.  Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang hanya seumur jagung di Hindia Belanda.   Hal ini disebabkan oleh:
-        Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk menghitung luas tanah yang kena pajak.
-        Pegawai pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
-        Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau mengakui suksesi jabatan secara turun-temurun.

3.      Masa Kependudukan Jepang ( 1942-1945 ).
            Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik.  Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat.  Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama.  Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon.  Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.








Jumat, 20 Mei 2011

Perkembangan Ekonomi Indonesia di Masa Mendatang

                Perekonomian Indonesia dimasa yang akan datang memang sangat menjanjikan. Bahkan, Harian The New York Times, edisi 5 Agustus 2010 menyebut: Indonesia adalah sebuah model ekonomi, setelah melewati krisis lebih dari sepuluh tahun. Sementara Financial Times(12/08/2010) mengatakan, perekonomian Indonesia merupakan macan yang tengah terbangun. Dengan keadaan ini seharusnya kita semakin optimis dengan perekonomian kita, tidak hanya makro tetapi juga mikro. Kita mempunyai  tiga kekuatan yang menjadi tiga kelemahan dari seluruh negara di dunia ini. Tiga kekuatan yang kita miliki antara lain adalah:
1.      Energi
            Kita mempunyai sumber-sumber alam yang memiliki kekuatan yang besar. Seperti metal, minyak, dan batu bara. Inilah sumber-sumber alam yang harus kita gali potensinya agar kekayaan sumber alam dapat kita manfaatkan sebaik-baiknya. Seperti proyek gas Natuna dan Cepu apabila sudah selesai, maka kita akan kembali menikmati surplus energi.
2.      Komoditas
            Sebagai negara agraris sudah sewajarnya pertanian lah yang menjadi kekuatan ekonomi kita. Walaupun harga komoditas akan selalu mengalami fluktuasi, tetapi lebih sering harga itu lebih tinggi. Peningkatan pemberdayaan komoditas ini memang sudah dijalankan, terbukti dengan Indonesia menjadi negara kedua terbesar setelah Malaysia dalam hal mengekspor kelapa sawit. Selain kelapa sawit, kita mempunyai komoditas unggulan lain seperti: kakao, kopi, tembakau, dan masih banyak lagi.
3.      Metal
            Indonesia memang kaya akan metal seperti: nikel, copper, iron ore, bauksit, dan alumina. Keuntungan yang seharusnya kita miliki ini akan lenyap begitu saja apabila kebijakan pemerintah tidak mendukungnya. Sekarang dalam undang–undang yang baru, kita harus mempunyai smelter atau peleburan logam. Jadi kita tidak perlu lagi ekspor bijih untuk diproduksi oleh negara lain, dan sebaliknya kita harus percaya diri dan mandiri untuk memproduksinya sendiri. 
           
            Selain kekayaan alam yang kita miliki, faktor pendorong pertumbuhan perekonomian kita adalah pada sektor investasi. Jika kita tengok kondisi sektor finansial kita, yang meliputi pasar modal, uang, utang dan perbankan, nampaknya tak ada yang mengkuatirkan. Secara umum, peringkat investasi Indonesia terus meningkat, seiring dengan semakin turunnya credit default swap (CDS) sebagai cermin dari risiko investasi. Bahkan, Japan Credit Rating Agency Ltd., (JCRA) telah menaikkan peringkat Indonesia ke level “investment grade”  pada bulan Juli lalu. Prospek perbankan kita juga tak kalah menjanjikan. Di tengah ambruknya sistem perbankan global, perbankan Indonesia justru membukukan tingkat keuntungan yang tinggi, selain menunjukkan tingkat kehati-hatian. Tingkat Net-Interest Margin (NIM) perbankan Indonesia yang mencapai angka sekitar 5,7 persen, merupakan angka paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara sekitar. Bandingkan dengan Singapura yang NIM nya hanya sekitar 2 persen, Malaysia 2,3 persen, Thailand 3,3 persen. Jadi, tak salah jika para bankir asing sangat berminat masuk ke Indonesia, di samping karena potensi pasarnya yang masih sangat luas.
            Setelah melihat aspek-aspek yang bisa kita gunakan untuk mengangkat perekonomian kita, tetapi ada beberapa tantangan yang harus kita hadapi untuk menyukseskan tujuan kita tersebut, diantaranya:
1.      Penggelembungan Nilai Aset
            Kemungkinan terjadinya gelembung nilai aset (asset bubble) dan inflasi, karena kurangnya daya serap ekonomi nasional terhadap masuknya modal asing, termasuk jangka pendek.
2.      Terhentinya Arus Modal Masuk
            Terhentinya arus modal masuk dan bahkan terjadinya penarikan kembali modal masuk dalam jumlah besar. Kesalahan dalam mengambil kebijakan, keterlambatan mengambil tindakan serta kurang koordinasi antar pembuat kebijakan juga dapat berakibat buruk terhadap stabilitas makro yang sudah terjaga selama ini.
3.      Subsidi Energi dan Alokasi yang Kurang Efisien.
            Selama ini, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) masih dinikmati orang mampu (berpenghasilan tinggi). Terkait masalah ini, Ketua Komite Ekonomi Nasional, Chairul Tanjung mengatakan yang wajib mendapatkan subsidi ialah orang miskin, orang mampu sebaiknya tidak dapat subsidi.
4.      Risiko Inflasi
            Risiko inflasi terutama dipicu komponen makanan, pendidikan, dan ekspektasi inflasi. Inflasi Indonesia yang masih tinggi, menurut Chairul Tanjung, karena selama ini kita hanya mengandalkan kebijakan moneter Bank Indonesia untuk mengelola permintaan. Padahal, selain faktor permintaan, inflasi juga dipengaruhi faktor penawaran atau tersedianya barang dan faktor distribusi yang harus diperhatikan.
5.      Infrastruktur yang Kurang Memadai
            Chairul menuturkan, tahun ini Indonesia menjual mobil sebanyak 760 ribu. Jika dalam lima tahun ke depan tidak ada penambahan jalan secara signifikan khususnya di Jakarta, akan terjadi kemacetan. Begitu pula, dengan airport dan pelabuhan. "Jika tidak ada perbaikan akan terjadi kemacetan luar biasa, yakni kemacetan ekonmi,” ujar Chairul.
6.      Kurangnya Daya Saing
            Peningkatan daya saing, perbaikan pendidikan, dan pelatihan serta penambahan pasokan tenaga teknik terdidik yang menjadi penghambat bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi produk (utamanya yang padat karya), menghambat investasi dan mengurangi penciptaan nilai tambah dan lapangan pekerjaan.
7.      Kondisi Politik dan Hukum yang Terjadi
            Hingga kini, kinerja DPR dalam menyelesaikan legislasi, pembuatan undang-undang (UU), termasuk UU yang berkaitan dengan upaya mendorong pembangunan ekonomi masih jauh dari harapan.

Selasa, 03 Mei 2011

Modernisasi Pertanian

Pertanian merupakan salah satu cara yang digunakan oleh manusia sejak dulu untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Usaha ini telah lama dilakukan sejak zaman kehidupan purba yang ditandai dengan perubahan pola hidup dari berladang dan berpindah menjadi menetap di suatu daerah. Mengingat perannya yang penting itu, maka dicarilah berbagai cara untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan itu, salah satu caranya adalah melalui medernisasi pertanian. Indonesia memulai modernisasi pertaniannya pada tahun 1970-an dengan program revolusi hijau. Revolusi hijau sebernarnya suatu program intensifikasi tanaman pangan yang membawa ide modernisasi. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dalam beberapa hal, antara lain dalam hal pengelolaan tanah, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, penggunaan sarana-sarana produksi dan pengaturan waktu panen. Disamping penerapan teknologi, ide modernisasi juga terlihat dalam hal mengatur kelembagaan produksi. Selanjutnya muncul pula pengembangan revolusi hijau dalam berbagai bentuk antara lain Ekstensifikasi, Intensifikasi dan Diversifikasi. Berkat revolusi hijau ini Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton, dan hasilnya Indonesia berhasil swasembada beras pada tahun 1984. Selain revolusi hijau, konsep lain pun ikut  berkembang, yaitu konsep pemuliaan spesies pertanian yang mencari varietas-varietas yang memiliki keunggulan tersendiri dan lebih menguntungkan manusia. Konsep ini muncul sebagai bagian dari peningkatan kualitas setelah adanya peningkatan kuantitas dari konsep pertama. Didapatlah varietas-varietas dengan keunggulan tertentu, seperti enak rasanya, banyak hasil panennya dalam sekali masa tanam, menghasilkan daging atau susu yang banyak dan berkualitas, dan tahan terhadap hama dan penyakit.
Dulu, konsep pertanian modern hanya berkutik dengan usaha untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Tetapi sekarang konsep pertanian modern lebih ke arah mengoptimalisasikan usaha tani untuk menghasilkan bahan pangan yang bermutu. Konsep optimalisasi usaha tani ini dijabarkan oleh sebuah sistem terpadu yang mampu melingkupi semua sektor, termasuk industri, dan mengaitkannya menjadi sebuah rantai perekonomian Indonesia. Sistem ini merupakan penerapan dari konsep pertanian modern, yaitu agribisnis. Sistem agribisnis merupakan konsep yang lebih konkrit dan komprehensif untuk pengembangan sektor pertanian ke arah yang lebih baik. Dengan adanya sistem ini, pengembangan komoditas-komoditas pertanian Indonesia pun menjadi lebih fokus karena setiap komoditas memiliki subsistem agribisnis yang berbeda-beda.


Beberapa masalah modernisasi pertanian di dunia ketiga, khususnya Indonesia seperti:
  • Peningkatan jumlah pengangguran.
  • Merosotnya nilai-nilai tradisional dan bentuk ikatan lainnya.
  • Norma-norma saling membutuhkan dan ketergantungan yang hidup dipedesaan mulai menghilang.
  • Terjadinya polarisasi sosial.
  • Terjadinya penurunan status wanita di pedesaan.